Pages

Rabu, 25 April 2012

Earth Day? Masyarakat Adat Indonesia Sudah Lama Menjaganya

Memperingati Earth Day (Hari Bumi) 22 April, maka Google memajang animasi bunga (tanaman) pada laman mesin pencari.

Gerakan kesadaran ini memang bagus, menggedor nurani kita untuk kembali menjaga bumi. Sekaligus jadi bukti, bahwa modernisasi yang tercipta sejak lahirnya jaman industri di abad 18 ternyata membawa bumi pada kehancuran selama ratusan tahun sesudahnya.

Sesungguhnya, di antara masyarakat modern yang mengaku paling beradab, masyarakat-masyarakat adat yang tetap hidup 'sederhana' dan seolah tak tersentuh modernitas justru menghadirkan fakta kalau mereka benar-benar penjaga bumi sesungguhnya.

7 di antaranya adalah:
Dayak Iban

Masih banyak suku-suku dayak di Kalimantan yang berusaha plus berjuang tetap menjaga hutan. Kita ambil contoh dari satu yang paling populer: Suku Dayak Iban.

Dayak Iban di Dusun Sungai Utik Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat memiliki hutan cadangan di Sungai Utik, di area ini ditumbuhi kayu meranti, kapur, ladan, dan beragam jenis rotan.

'Disini sudah ada satu aturan, satu kepala keluarga maksimal satu tahun boleh menebang 30 batang'', kata Raymundu Sremang, Kepala Desa Batu Lintang. Sanksi adat berupa denda akan diberikan bagi para pelanggar, '' Didenda sebesar Rp 500 ribu, dan itu pernah terjadi''.

Dayak Iban menyadari bahwa "Hutan memberi kami air bersih, sehingga darah kami bersih. Tanah kami utuh, tanah menua dan tidak dibabat. Hutan kami menangkap karbon, gas yang beracun sehingga kami terlindung dan kami tidak terkena penyakit."

Berbagai alasan itu pula yang membuat suku Dayak Iban di kawasan Sungai Utik menolak tawaran investor untuk mengubah hutan adat menjadi perkebunan kelapa sawit, yang banyak dibuka di kawasan perbatasan Sarawak Malaysia itu.

Kearifan menjaga hutan ini tahun 2008, Sungai utik merupakan Hutan Adat yang pertama mendapat sertifikat ekolabel, dalam pengelolaan hutan lestari dari Lembaga Ekolabel Indonesia. 

Suku Rejang Jurukalang

Masyarakat adat Jurukalang yang berada di beberapa kawasan Bengkulu memiliki kearifan lokal dalam melestarikan hutan. Mereka mempunyai undang-undang sebagai berikut:

Undang-Undang Simbur Cahayo. Meskipun undang-undang ini dibuat oleh Belanda (van Bossche) dan kemudian dilakukan beberapa perubahan di dalamnya adalah salah satu sumber undang-undang adat yang tertulis yang selalu dijadikan sebagai referency dalam penyelesaian sengketa yang terjadi di Masyarakat Jurukalang

Taneak Tanai. Sebutan untuk hamparan tanah dalam lingkup komunitas adat yang dimiliki secara komunal dan biasanya adalah bagian wilayah kelola warga.

Setiap pihak yang mengelola di kawasan tertentu di dalam taneak tanai wajib untuk menanam tanaman-tamanan keras yang bernilai konservasi dan ekonomi seperti petai, durian dan lainnya sebagai tanda wilayah tersebut telah dimiliki oleh seseorang dan keluarga tertentu.

Utan atau Imbo Piadan. Ini penyebutan untuk hutan yang dipercayai ada penunggu gaib sehingga ada beberapa prasyarat untuk membuka kawasan ini jarang ada warga yang berani membuka hutan larangan ini, di Jurukang kawasan Bukit Serdang adalah kawasan yang dipercayai mempunyai kekuatan gaib yang memelihara kawasan tersebut

Adat Rian Cao. Adalah adat tata cara atau istilah local untuk menyebutkan kearifan lokal, adat tata cara ini berkembangan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan warga komunitasnya
Penebangan Pohon Madu yang disebut dengan Sialang adalah pantangan berat untuk ditebang, jika ditebang akan dikenakan denda setengah bangun atau setengah dari denda membunuh orang.

Begitu juga dengan menebang pohon-pohon di sekitar pohon sialang dianggap juga sebagai pantangan adat, sialang dianggap sebagai hak komunal dan ketika panen maka biasanya diketahui oleh seluruh masyarakat komunitas dan ada bagian tertentu dari hasil panen yang tidak boleh diambil dan dibiarkan tinggal di sekitar pohon karena dianggap itu adalah hak penunggu gaib dari pohon, proses panennya pun diiringi oleh nyayian-nyayian pujian baik pujian terhadap kayu maupun pujian terhadap penunggunya.


Suku Wana

Praktik kultural masyarakat Wana (Tau Taa Wana Bulang) di Sulawesi Tengah terwujud dalam sejumlah acara ritual yang masih menganggap hutan memiliki ‘kekuatab gaib’.

Praktik budaya lokal ini berdampak positif terhadap konservasi hutan yang dilakukan masyarakat Wana.

Ada 14 bentuk praktik ritual kearifan lokal yang dijalankan masyarakat Wana dalam melestarikan hutan dan lingkungan sekitarnya. Beberapa di antaranya ialah ritual Manziman Tana (mohon izin), Monguyu sua (ritual penanaman pertama), Mpopondoa Sua (memberikan kekuatan hidup pada pohon), Palampa Tuvu (menolak bahaya), Nunju (mengusir roh jahat), Ranja (mengusir wabah), dan Polobian (pengobatan). 

Suku Naga

Tempat permukiman Suku Naga di Jawa Barat diapit dua buah hutan. Hutan pertama yang terletak di sisi Sungai Ciwulan disebut Leuweung Biuk. Leuweung dalam bahasa Sunda artinya hutan.

Namun, yang membedakan kawasan hutan di daerah itu dengan daerah lainnya di luar Kampung Naga adalah, keadaan tumbuhan Leuweung Biuk dan apalagi tumbuhan di Leuweung Larangan tetap terjaga utuh. Kawasan itu tampak hijau dengan berbagai jenis tumbuhan yang secara sengaja dibiarkan tumbuh secara alami. Terhadap tumbuhan tersebut, tak seorang pun anggota masyarakat Suku Naga berani merusaknya karena kedua areal hutan itu dikeramatkan.

Kawasan hutan kedua disebut LEUWEUNG Larangan yang luasnya kurang lebih tiga hektar, dikeramatkan karena di sana dimakamkan leluhur masyarakat Suku Naga, Sembah Dalem Eyang Singaparana.

Peristiwa-peristiwa seperti banjir, kekeringan, serangan hama dan penyakit tanaman padi yang mengakibatkan panen gagal atau berkurang produksinya misalnya, dianggap sebagai peristiwa yang tidak lepas dari hukum sebab akibat. Karena itu, ketika terjadi perambahan tanah adat yang kemudian dijadikan hutan industri dan perkebunan, masyarakat adat Suku Naga sudah memperkirakan apa yang akan terjadi selanjutnya.



Suku Kajang
Disebut juga masyarakat adat Ammatoa. Hidup di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, mengelola sumberdaya hutan secara lestari, meskipun secara geografis wilayahnya tidak jauh (sekitar 50 km) dari pusat kegiatan ekonomi dan pemerintahan Kabupaten Bulukumba.

Hal ini disebabkan oleh hubungan masyarakat adat dengan lingkungan hutannya didasari atas pandangan hidup yang arif, yaitu memperlakukan hutan seperti seorang ibu yang harus dihormati dan dilindungi (Suriani, 2006)

Mereka mempraktekkan cara hidup sangat sederhana dengan menolak segala sesuatu yang berbau teknologi. Bagi mereka, benda-benda teknologi dapat membawa dampak negatif bagi kehidupan mereka, karena bersifat merusak kelestarian sumber daya alam. Komunitas yang selalu mengenakan pakaian serba hitam inilah yang kemudian disebut sebagai masyarakat adat Ammatoa (Widyasmoro, 2006).

Masyarakat Ammatoa memraktekkan sebuah agama adat yang disebut dengan Patuntung. Ajaran ini menyandarkan diri pada tiga pilar utama, yaitu menghormati Turiek Akrakna (Tuhan), tanah yang diberikan Turiek Akrakna, dan nenek moyang (Rossler, 1990).

Kepercayaan dan penghormatan terhadap Turiek Akrakna merupakan keyakinan yang paling mendasar dalam agama Patuntung. Masyarakat adat Kajang percaya bahwa Turiek Akrakna adalah pencipta segala sesuatu, Maha Kekal, Maha Mengetahui, Maha Perkasa, dan Maha Kuasa (Hasbi, 2005: 270).

Mereka meyakini bahwa di dalam hutan terdapat kekuatan gaib yang dapat menyejahterakan dan sekaligus mendatangkan bencana ketika tidak dijaga kelestariannya. Kekuatan itu berasal dari arwah leluhur masyarakat Kajang yang senantiasa menjaga kelestarian hutan agar terbebas dari niat-niat jahat manusia (Aziz, 2008).

Jika ada orang yang berani merusak kawasan hutan, misalnya menebang pohon dan membunuh hewan yang ada di dalamnya, maka arwah para leluhur tersebut akan menurunkan kutukan. Kutukan itu dapat berupa penyakit yang diderita oleh orang yang bersangkutan, atau juga dapat mengakibatkan berhentinya air yang mengalir di lingkungan Tanatoa Kajang.

Satu lagi prinsip hidup yang patut dicontoh disebut tallase kamase-mase. Secara harfiah, tallase kamase-mase berarti hidup memelas, hidup apa adanya. Memelas, dalam arti bahwa tujuan hidup warga masyarakat Kajang menurut pasang adalah semata-mata mengabdi kepada Turek Akrakna.

Prinsip tallase kamase-mase, berarti tidak mempunyai keinginan yang berlebih dalam kehidupan sehari-hari, baik untuk makan, maupun dalam kebutuhan pakaiannya. Dengan cara yang demikian, maka keinginan mendapatkan hasil berlebihan dari dalam hutan dapat dihindari,



Warga Adat Molo

Ini sebuah kisah perjuangan suku adat di Timor Tengah menjaga hutan mereka. Karena hutan, tanah, air dan batu tak bisa dibuat maka Suku Molo dan Pubabu Besipae di Timor Tengah Selatan, tak akan pernah menjual sumber alam itu.

“Belilah meja, akan kami buatkan, belilah padi biar kami tanam.” Begitu mereka berseru kepada sejumlah perusahaan tambang yang ingin mencabik-cabik gunung dan hutan mereka
Ya, gunung batu Naitapan yang terletak di dekat wilayah mereka diiris habis oleh PT Sumber Alam Marmer.

Maka protes pun dilakukan. Beberapa lelaki Molo duduk sembari menggelung kaki, di rumah adat setempat yang disebut Lopo, di Nausus, Molo Utara, Nusa Tenggara Timur. Mereka menyanyikan lagu berjudul Batu Naitapan, sambil mengikuti iramanya dari sebuah rekaman di telepon seluler. Lagu ini diciptakan masyarakat adat akibat aksi eksplorasi para penambang.
Bertanam di lahan bekas tambang

Lalu warga menduduki lereng-lereng Gunung Batu Fatuliki, menghentikan aktivitas tambang yang memotong gunung batu itu, sambung seorang tokoh adat Wiliambae Satu.

“Semua masyarakat sini kami punya kebun di sekitar batu, tidak mau merusak alam. Kalau rusak alam berarti kami mau tinggal di mana, mau makan apa? Kebun semua di sekitar pohon batu. Kami duduk sama-sama, gelar tikar, tidur kayak sapi. Siang malam. Hujan-angin. Karena kami punya batu adalah nama dan sejarah dari nenek moyang. Jadi kami tak mau merusak itu.”

Mentawai

Yang terakhir, saya ingin bercerita pengalaman saat mengunjungi Mentawai paska diterjang Tsunami 2010 silam.
Foto: Tirtoandayanto M.R.

Saat tim kami mengunjungi Pulau Siberut untuk melihat apakah dampak bencana terasa hingga ke pedalaman, kami menuju Desa Matotonan. Cara mencapai desa terjauh di hulu sungai Siberut Selatan ini, harus menyusuri sungai nan berliku menggunakan pompong. Yakni, sejenis sampan kecil bermotor.

Sepanjang puluhan kilometer, kami tak melihat sampah sedikit pun. Dan, baru tahu alasannya saat 'ngemil' selama perjalanan, Pak Anwar berpesan dengan lantang, "Jangan buang sampah ke sungai, ya." Hal tersebut jadi bukti betapa masyarakat adat Mentawai ternyata sangat menjaga hutan mereka.

Suku pedalaman yang masih bercawat dan tato di sekujur tubuh ini meyakini kepercayaan Sabulungan. Mereka percaya ada tiga penguasa di alam yakniTai Kabagat Koat (Roh laut), Tai Ka Leleu (Roh hutan dan gunung), dan Tai Ka Manua (Roh langit).
Foto: Tirtoandayanto M.R.

Maka, tak mudah bagi penduduk lokal dalam menebang pohon. Setiap pohon yang akan ditebang ada ritualnya, dan dipimpin oleh Sikerei (dukun/tabib).
***

Segala uraian semua masyarakat adat di atas merupakan gambaran nyata, bahwa orang asli Indonesia memang menjaga bumi. Di lain kesempatan saya akan tulis bukti lain soal arsitektur asli, sehingga makin jelas kalau masyarakat adat kita yang bisa hidup 'berdamai' dengan tanah yang dipijaknya.

Kita, masyarakat kota nan modern dan mengaku punya agama paling mulia, sering mengutuk kepercayaan sinkritisme (pagan) penduduk pedalaman sebagai orang kafir dan tak bertuhan.

Padahal, mereka punya cara sendiri menjalin cinta dengan Yang Maha Kuasa. Hebatnya lagi, mereka punya "tindakan nyata" sebagai bukti menjaga bumi yang sudah diciptakan Sang Penguasa Surga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar