Ketika Laut Jadi Tempat Sampah - Sebagai negara kelautan, jutaan
orang Indonesia pastilah beraktivitas di pinggir dan/atau di atas laut.
Namun banyak di antara kita yang tidak sadar bahwa aktivitas hidup
setiap harinya, baik dari mengendarai/menggunakan kendaraan, sampai
tidak membuang sampah pada tempatnya, atau bahkan membuang puntung rokok
sembarangan, dapat berakibat buruk pada makhluk hidup yang terdapat di
laut. Keberadaan sampah di laut dapat mengakibatkan kecelakaan bahkan
sampai kematian pada biota laut. Polusi juga membuat pantai menjadi
kurang nyaman untuk dikunjungi. Penyelesaian masalah pencemaran laut
membutuhkan partisipasi semua pihak.
Asal sampah laut
Anda mungkin bertanya, bagaimana sampai sampah yang ada di daratan bisa
masuk ke laut. Sederhana saja, lain kali ketika menyusuri jalan,
lihatlah sampah yang bertebaran. Ketika turun hujan, sampah-sampah yang
ada di pinggir jalan dan jalanan umum akan terakumulasi di selokan yang
ada di pinggir jalan. Karena di negara kita umumnya saluran
pembuangannya langsung menuju ke laut, sampah-sampah tersebut kemudian
langsung masuk ke laut. Seperti yang kita ketahui bersama, banyak
penduduk yang masih juga belum dapat meninggalkan kebiasaan lama
membuang sampah langsung ke laut, baik tiap harinya, namun saat kita
berwisata ke pantai.
Penduduk Indonesia yang bermukim di kawasan pesisir hampir pasti
mengunjungi pantai untuk berwisata bahari paling kurang sekali dalam
setahun. Ketika sampai di pantai, bukan hanya pasir pantai yang akan
dilihat di sana, namun juga sampah yang bertebaran.
Masih segar di ingatan kita salah satu contoh yang sempat menjadi topik
utama di media cetak maupun elektronik, ketika sampah bertebaran di
pantai Kuta, salah satu tujuan wisata pantai yang paling sering
dikunjungi di Pulau Bali. Menurut seorang petugas Badan Penyelamat
Wisata Tirta Balawisata Kuta, seperti yang dilansir oleh salah satu
media elektronik, sampah-sampah tersebut merupakan sampah “kiriman” dari
laut akibat terbawa arus dan angin musim barat. Bupati Badung AA Gde
Agung bahkan sempat menyatakan dalam salah satu wawancara dengan stasiun
berita Antara pada bulan April yang lalu bahwa sampah kiriman ini bisa
mencapai sekitar 100 truk setiap harinya saat itu. Angka ini memang
masih harus diverifikasi lebih lanjut, namun paling tidak bisa
memberikan gambaran seriusnya masalah penanganan sampah kiriman yang
harus dihadapi pemerintah Bali.
Pada tahun 1975, the National Academy of Sciences di Amerika Serikat
mengeluarkan laporan yang berisi dugaan bahwa kapal-kapal kargo dan
transportasi penumpang membuang 14 milyar pound atau sekitar 6,4 x 10^9
kg sampah ke laut. Sebuah perjanjian internasional untuk Pencegahan
Pencemaran dari Kapal (MARPOL 73/78) ditandatangani dua tahun
sebelumnya, namun baru efektif dilaksanakan oleh negara-negara penanda
tangan pada tahun 1978. Annex V yang khusus mengatur mengenai pencegahan
pencemaran sampah dari kapal efektif berlaku sejak 31 Desember 1988,
dan Indonesia termasuk salah satu negara yang meratifikasi perjanjian
ini. Salah satu isi annex ini melarang dibuangnya segala jenis plastik
di laut. Peraturan tersebut sedikit banyak telah ikut mengurangi jumlah
sampah yang terakumulasi di pantai dan laut. Namun masalah pencemaran
plastik tetap merupakan masalah besar. Salah satu kajian yang dilakukan
pada tahun 2001 menduga terdapat sekitar 334.271 lembar plastik per
mil^2 di pusaran Pasifik Utara Tengah (North Central Pacific Gyre), yang
merupakan sistem eddy alamiah untuk mengumpulkan benda-benda pada satu
titik tertentu. Sekitar 60 hingga 80% sampah di laut diperkirakan
berasal dari daratan.[1] Sampah plastik di laut beresiko menyebabkan
masalah pada 267 spesies biota laut di seluruh dunia, termasuk 86% dari
keseluruhan spesies kura-kura, 44% dari keseluruhan spesies burung laut
dan 43% spesies mamalia laut.
Akibat buruk sampah bagi biota laut dan manusia
Sampah-sampah yang terakumulasi di laut bukan saja dapat berakibat buruk
bagi biota laut, namun juga bagi manusia. Bagi biota laut, sampah
seperti benang pancing, tali rafia dan wadah minuman kaleng berbentuk 6
cincin dari plastik dapat menghambat mobilitas fauna laut yang terjebak
dalam lilitannya. Saat terlilit, fauna laut akan menderita kesulitan
makan, bernapas dan berenang, yang pada akhirnya dapat berakibat fatal.
Apalagi plastik merupakan bahan yang baru akan terurai setelah
beratus-ratus tahun, dan karenanya masih dapat menjebak dan membunuh
fauna laut bertahun-tahun lamanya.
Sekitar 90% dari sampah laut terapung adalah plastik. Karena
karakteristiknya yang tahan lama, dapat terapung dan mampu mengakumulasi
racun yang ada di laut, plastik sangat berbahaya bagi kelangsungan
hidup biota laut. Salah satu tipe sampah plastik yang ditemukan di
seluruh dunia adalah partikel plastik atau nurdles/plastic pellets,
yaitu bahan mentah plastik berupa butiran kecil yang diangkut ke pabrik
pembuatan plastik untuk kemudian diproses menjadi peralatan makan
plastik, mainan dan sebagainya.
Salah satu akibat buruk lainnya adalah plastik sering dikira sebagai
makanan oleh burung, ikan dan mamalia laut. Beberapa induk burung bahkan
memberi makan anak-anaknya dengan plastik. Ketika plastik dimakan,
fauna laut akan merasa kekenyangan, padahal sesungguhnya tidak ada
asupan nutrisi yang dibutuhkan tubuh mereka. Akibatnya mereka akan mati
kelaparan. Kura-kura laut bahkan salah mengira kantong plastik sebagai
ubur-ubur, salah satu makanan kesukaan fauna ini. Bahkan paus abu-abu
pernah ditemukan tewas dengan kantong dan lembaran plastik dalam lambung
mereka.
Akibat buruk sampah di laut bagi manusia di antaranya adalah bahwa
beberapa jenis sampah seperti sampah beling/pecahan kaca dan logam yang
tersembul dari pasir dapat melukai wisatawan yang mengunjungi pantai.
Padahal beling atau pecahan kaca dapat didaur ulang untuk membuat gelas,
insulasi dan aspal. Di Negara Bagian Kalifornia AS pada 1993, ada 600
ton beling yang didaur ulang, yang menyerap 4320 tenaga kerja.
Selain itu sampah juga beresiko mengancam keselamatan dan mata pencarian
para nelayan dan perahu-perahu wisata. Hal ini karena sampah jaring
dan benang pancing serat tunggal dapat melilit propeler mesin
perahu/kapal yang digunakan. Di samping itu, kantong dan pelapis
plastik dapat menghalangi saluran pendingin mesin, sehingga mesin
menjadi cepat panas dan akhirnya memperpendek masa pakainya. Akibat
yang ditimbulkan adalah resiko kecelakaan, mahalnya biaya perbaikan dan
hilangnya waktu melaut, yang akhirnya akan menurunkan pendapatan
nelayan.
Apa yang dapat kita lakukan?
Seperti yang dikemukakan pada bagian akhir paragraf pertama dari tulisan
ini, partisipasi semua pihak diperlukan guna mengatasi pencemaran
laut.
1) Gunakan lebih sedikit barang. Banyak masalah pencemaran yang terjadi
sebenarnya merupakan masalah sumber daya yang tidak digunakan secara
efisien. Padahal sebenarnya untuk tiap barang yang kita daur ulang atau
gunakan kembali, kita sudah menghemat satu sampah yang akan berakhir di
laut dan mengancam keselamatan manusia dan biota laut.
Semua barang yang kita gunakan setiap harinya berasal dari alam seperti
pepohonan, minyak bumi, pasir, air, tanah dan logam, di mana banyak di
antaranya merupakan sumber daya yang tak dapat diperbarui. Dengan
membuang sampah pada lahan yang dikhususkan untuk itu seperti untuk
landfill, dan bukannya langsung ke laut, kita akan mengurangi secara
drastis penggunaan sumber daya alam tidak terbarukan yang masih tersisa.
Logam misalnya, hampir 75% dari keseluruhan jenisnya hanya digunakan
sekali. Daur ulang logam mengurangi pencemaran air dan udara, dan hanya
membutuhkan 70% dari tenaga yang dibutuhkan untuk produksi logam dari
bahan mentah.
2) Berpartisipasilah dalam penyelesaian masalah sampah laut. Sampah laut
yang terdampar di kawasan pesisir sebenarnya merupakan indikasi
masalah polusi perairan yang jauh lebih besar yang disebabkan oleh
masyarakat biasa yang melakukan hal yang biasa mereka lakukan setiap
harinya. Hujan menyapu ceceran minyak dari lahan parkir, pupuk dari
tanah pertanian, kotoran hewan peliharaan dari trotoar dan pinggir
jalan dan bahan cemar lainnya dari sumber-sumber lain. Berbagai racun
tersebut akan terbawa air hujan ke laut melalui selokan, yang pada
gilirannya akan meracuni sumber air dan biota laut. Kita dapat berperan
dalam mengatasi masalah ini dengan mendaur ulang oli bekas,
memperbaiki tanki kendaraan yang bocor, menggunakan produk-produk yang
tidak beracun dan praktek-praktek lainnya sehingga selokan tidak
tersumbat dan bersih.
Praktek-praktek tersebut meliputi:
• Daur ulang, gunakan kembali dan mengurangi (Reduce, Reuse and Recycle)
penggunaan barang-barang di rumah, di tempat kerja dan di sekolah.
Kertas bekas misalnya, dapat digunakan sebagai bahan mentah pembuatan
kertas baru dan produk-produk yang terbuat dari kertas. Selain itu
kertas dapat digunakan kedua sisinya. Setiap 907 kg kertas yang didaur
ulang kembali berarti ada 17 pohon yang diselamatkan.
• Belilah produk yang dibuat dari bahan daur ulang dengan kemasan seminim mungkin atau tanpa kemasan sama sekali.
• Jagalah agar selokan di lingkungan kita bersih, karena semua yang masuk di dalamnya akan bermuara di laut.
• Jangan buang puntung rokok di jalan dan di pantai.
• Buanglah benang, jaring dan mata pancing pada tempat yang sesuai, dan bukan di laut.
Ketika laut menjadi tempat sampah kita semua, maka tanggung jawab kita
bersama jugalah untuk membersihkannya dan memastikan bahwa laut nyaman
ditinggali oleh biota laut dan dikunjungi oleh manusia untuk rekreasi
maupun dalam mencari nafkah. Ayo, marilah disiplin membuang sampah pada
tempat yang disediakan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar